Dalam hal ini, telah terjadi pertemuan dengan pihak UNHCR, terkait dengan relokasi pengungsi dari Gedung Mina Raya pada Jumat (17/11).
Azwani, yang berusia 65 tahun, mengaku sebagai perwakilan warga dari pertemuan tersebut. Dia mengklaim bahwa warga menolak karena keberadaan pengungsi Rohingya melanggar “norma-norma yang telah disepakati.”
“Kedua, masuk mereka ke sini, tanpa konfirmasi dengan pihak setempat. Jangan kan dengan kami desa, dengan Mustika aparatur desa pun tidak pernah dibicarakan. Oleh karenanya, kami tidak dianggap pemerintah di [kecamatan] Padang Tiji ini, sehingga kami menolak,” kata Azwani.
Azwani juga mengatakan bahwa jika ultimatum ini diabaikan, “kami tidak bisa mengamankan atau menahan mereka warga membakar, dan sebagainya,” ungkapnya.
Baca Juga: Fakta Menarik tentang Semeidi Husrin, Lulusan S-3 dan Peneliti BRIN yang Setia Mendampingi Enuh Nugraha, Alumni ITB dengan Gangguan Jiwa
Sementara itu, seorang perwakilan warga lainnya, Teuku Muslim, mengatakan, “Kami atas nama kemanusiaan, dia (Rohingnya) orang Islam, sudah kami terima. Sekarang sudah cukup kami menerima.”
Juru bicara UNHCR, Mitra Salima Suryono, kepada AFP mengatakan, “Kami masih berusaha memastikan keselamatan para pengungsi, dengan cara berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Kami harap, pengungsi Rohingya bisa direlokasi ke tempat yang lebih baik.”
Sejauh ini, belum ada keterangan resmi dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat terkait pemindahan minoritas Rohingya di Pidie.
Bagaimana respons pemerintah? Plt. Kepala Dinas Sosial Aceh, Devi Riansyah, mengatakan pihaknya tidak berwenang terhadap persoalan ini, dan menyerahkan hal ini kepada Badan PBB untuk urusan Pengungsi, UNHCR.
“Sesuai dengan Perpres 125 terkait PPLN Dinsos Provinsi tidak memiliki kewenangan dan tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) terkait hal tersebut,” kata Devi melalui pesan tertulis.
HALAMAN 3
Pengungsi Rohingya Aceh