Saat ditanya mengenai alternatif lokasi penampungan karena adanya penolakan warga, dan potensi konflik, Devi menjawab: “Sampai saat ini belum ada arahan dari pimpinan terkait hal tersebut.”
Plt. Asisten Deputi Bidang Koordinasi Penanganan Kejahatan Transnasional dan Luar Biasa Kemenkopolhkam, Benny M Saragih juga menjawab singkat persoalan ini. “Saya masih mengumpulkan informasi dan data,” katanya melalui pesan tertulis.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal menegaskan, “Kejadian semacam ini akan terus berulang selama akar masalahnya tidak diselesaikan, yaitu masalah Rohingya di Myanmar.”
Ia melanjutkan, terkait arus arus pengungsi yang saat ini terjadi lagi, pemerintah Indonesia meminta negara-negara pihak pada Konvensi Pengungsi 1951 untuk menunjukkan tanggung jawab lebih.
“Indonesia sendiri bukan negara Pihak pada konvensi sehingga tidak ada kewajiban untuk menampung,” kata Iqbal melalui keterangan kepada BBC News Indonesia.
“Namun demikian selama ini kita selalu memberikan penampungan, semata-mata karena alasan kemanusiaan. Penampungan yang kami berikan bersifat jangka pendek dan bukan sebagai solusi permanen.”
Baca Juga: Joe Biden: Gaza dan Tepi Barat Harus Kembali di Bawah Otoritas Palestina
Menurut mereka terdapat ketentuan hukum kebiasaan internasional mengenai prinsip non-refoulement, di mana seseorang termasuk pengungsi tidak boleh dikembalikan atau ditolak di negara tempat dia mencari perlindungan.
“Pembiaran terhadap penolakan ini akan menjadi catatan buruk dalam penghormatan terhadap prinsip ini,” tulis pernyataan tersebut.
Belasan organisasi masyarakat sipil ini juga mempertanyakan implementasi Peraturan Presiden No.125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri. “Lagi-lagi Peraturan Presiden tak diindahkan dalam kejadian ini,” tambah pernyataan itu.
Mereka juga menantang alasan pemerintah mengenai tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 sebagai “argumentasi usang”. Musababnya, Indonesia memiliki beragam instrumen HAM lain, prinsip non-refoulement, ketentuan-ketentuan penyelamatan nyawa pada hukum laut atau UNCLOS, ketentuan-ketentuan pada Bali Process dan konvensi-konvensi HAM yang melindungi perempuan, anak-anak, kelompok disabilitas, dan sebagainya.
“Belum lagi mengenai pernyataan-pernyataan internasional yang disampaikan,” tulis pernyataan bersama dari KontraS Aceh, SUAKA, JRS Indonesia, LBH Banda Aceh, KontraS, Sahabat Insan, RDI-UREF, Dompet Dhuafa, Sandya Institute, LBH APIK Jakarta, HRWG, dan PBHI.
Sumber: BBC Indonesia
Editor: Nongki Ngopi
Baca Juga: