Kemarau Basah di Indonesia
– Musim kemarau yang saat ini terjadi di Indonesia tidak seperti yang diharapkan. Para pakar cuaca menyebutnya sebagai “kemarau basah” yang disebabkan oleh beberapa faktor.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan bahwa musim kemarau basah ini terjadi karena pengaruh angin dan siklon tropis. Fenomena serupa terjadi sebelumnya di Indonesia pada tahun 2013.
Beberapa faktor yang terkait dengan kemarau basah di Indonesia telah diungkapkan oleh para ahli cuaca. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa gelombang atmosfer di khatulistiwa dan kondisi lokal merupakan pemicu hujan pada akhir pekan selama musim kemarau ini.
BACA JUGA : Ancaman Kiamat dan Potensi Konflik Nuklir Menyelimuti Rusia
Selain itu, fenomena El Nino, yang merupakan pemanasan suhu muka air laut di Samudera Pasifik, juga mempengaruhi penurunan curah hujan secara global dan telah aktif sejak bulan lalu. BMKG juga menjelaskan beberapa faktor yang memicu dominasi hujan dalam periode ini.
Faktor-Faktor Penyebab Kemarau Basah
- Faktor Global: Indeks Osilasi Selatan (SOI) memiliki nilai +3,6, Indeks NINO 3.4 memiliki nilai +0,94, dan Dipole Mode Index (DMI) yang mencerminkan pemanasan suhu laut Samudera Hindia (IOD) memiliki nilai -0,21. Faktor-faktor global ini tidak memiliki pengaruh signifikan pada kemarau basah.
- Faktor Regional: Gelombang atmosfer Madden Julian Oscillation (MJO) memiliki kontribusi yang kurang pada proses pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia. Namun, gangguan fenomena MJO secara spasial terpantau aktif di wilayah Samudera Hindia barat Aceh hingga Lampung, kecuali beberapa wilayah di Indonesia. Gangguan ini memiliki peluang untuk menumbuhkan awan hujan di wilayah yang terpengaruh.
- Faktor Wilayah Pertemuan Gelombang: Wilayah pertemuan beberapa gelombang seperti gelombang Rossby Ekuator, gelombang Kelvin, dan gelombang dengan frekuensi rendah dapat memicu hujan. Kombinasi dari MJO, gelombang tipe frekuensi rendah, gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby Ekuator pada wilayah dan periode yang sama dapat meningkatkan aktivitas konvektif serta pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut.
- Faktor Suhu Muka Air Laut: Anomali suhu muka air laut yang terpantau di beberapa wilayah Indonesia dapat meningkatkan potensi penguapan dan penambahan massa uap air di berbagai perairan seperti Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Jawa, dan wilayah lainnya.
- Faktor Sirkulasi Siklonik: Adanya sirkulasi siklonik di beberapa wilayah seperti Papua Barat dan Samudera Pasifik utara Papua Barat membentuk daerah pertemuan kecepatan angin (konvergensi) yang dapat meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitarnya.
- Faktor Intrusi Udara Kering: Adanya intrusi udara kering dari Belahan Bumi Selatan melintasi wilayah Samudera Hindia selatan Jawa hingga Australia bagian utara dapat mengangkat massa udara di depan intrusi menjadi lebih hangat dan lembab, terutama di wilayah Jawa, Bali, NTB, dan Papua bagian selatan.
- Faktor Labilitas Lokal Kuat: Labilitas lokal kuat yang mendukung proses konvektif pada skala lokal terdapat di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Aceh, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Peringatan Potensi Hujan Lebat dan Dampaknya
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang terkait dengan kemarau basah, BMKG memperingatkan tentang potensi hujan lebat di beberapa wilayah Indonesia.
Pada Minggu (9/7), wilayah yang berpotensi mengalami hujan lebat meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Hujan lebat dapat berdampak pada kondisi cuaca yang ekstrem, banjir, longsor, serta gangguan transportasi dan infrastruktur. Oleh karena itu, perlu adanya kewaspadaan dan langkah pencegahan yang tepat dalam menghadapi kemarau basah ini.