Nongkingopi.com – Pada akhir November 2023, isu mengenai krisis International Standard Book Number (ISBN) di Indonesia mencuat di media sosial, terutama di platform X (sebelumnya Twitter). Krisis ISBN ini menjadi sorotan publik karena dianggap sebagai kasus istimewa yang kurang familiar di kalangan masyarakat. Banyak warganet mengeluhkan jumlah buku yang dinilai tak layak terbit namun memiliki ISBN. Salah satu penyebab yang disoroti adalah penerbitan buku fanfict, web novel, dan buku self-publishing yang dianggap tidak seharusnya memperoleh ISBN.
Beberapa warganet menyalahkan kebijakan institusi pendidikan yang mewajibkan pengajar dan mahasiswa menerbitkan penelitian ber-ISBN sebagai syarat kelulusan atau naik pangkat. Mereka berpendapat bahwa krisis ISBN juga dipengaruhi oleh terbitan-terbitan dosen dan akademisi yang jumlahnya banyak namun kurang jelas kualitasnya.
Baca Juga: Dampak Perang Terhadap Ekonomi Dunia
Menanggapi hal ini, Universitas Sebelas Maret (UNS) Press, sebuah lembaga penerbitan, memastikan bahwa krisis ISBN di Indonesia memang benar terjadi. UNS Press menyebut bahwa krisis ISBN ini adalah hasil dari penerbitan masif yang terjadi selama pandemi COVID-19 pada tahun 2020 dan 2021. ISBN sendiri merupakan nomor unik 13 digit yang diterbitkan oleh Badan Internasional ISBN berbasis di London.
Krisis ISBN terjadi ketika jumlah nomor ISBN suatu negara yang sebenarnya terbatas mengalami penurunan drastis. Di Indonesia, kondisi ini dipicu oleh tingginya angka penerbitan buku ber-ISBN dalam waktu singkat. Badan Internasional ISBN London memberikan teguran kepada Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Indonesia karena menemukan kasus penerbitan buku yang tidak wajar. Dalam periode 2020-2021, Indonesia diduga telah menerbitkan lebih dari 208,191 buku ber-ISBN.
Data statistik Perpusnas menunjukkan bahwa hingga tahun 2023, sudah ada lebih dari 728,389 buku yang diterbitkan dengan ISBN. Angka ini sangat tinggi mengingat ketersediaan nomor ISBN di Indonesia terbatas. Terakhir kali, pada tahun 2018, Indonesia mendapatkan alokasi 1 juta nomor ISBN, dan saat ini hanya tersisa sekitar 270 ribu nomor ISBN. Di negara lain, alokasi sebanyak 1 juta nomor ISBN biasanya dapat digunakan hingga 10 tahun, tetapi di Indonesia hampir habis dalam enam tahun.
Baca Juga: Menghilangnya Karbon Dioksida: Apa yang Akan Terjadi Jika Bumi Kehilangan ‘Penghangat’ Utamanya?
Dampak dari krisis ISBN di Indonesia mencakup sulitnya pengendalian distribusi dan identifikasi buku terbitan. ISBN memainkan peran penting dalam pelacakan stok buku oleh toko buku, pedagang grosir, distributor, perpustakaan, dan lembaga penerbitan. Buku-buku ber-ISBN juga tercatat dalam katalog buku nasional milik Perpusnas.
Krisis ISBN ini menjadi kasus istimewa dan jarang terjadi di negara-negara lain. Meskipun buku tanpa ISBN tetap dapat terbit dan dijual, penggunaannya memiliki dampak dalam pelacakan identitas dan pemasaran buku. ISBN tidak dapat diturunkan atau dipindahkan, dan setiap judul buku memerlukan satu ISBN. Oleh karena itu, buku-buku revisi mungkin harus menunggu lebih lama untuk terbit karena keterbatasan nomor ISBN.
Direktur Eksekutif Badan Internasional ISBN, Stella Griffiths, mengakui bahwa ISBN sering disalahgunakan untuk produk non-buku dan sebagai alat sensor di perpustakaan atau toko buku. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa ISBN hanya berfungsi sebagai pengenal, dan tanpa metadata yang terkait, ISBN tidak memiliki arti sebenarnya.
Dengan kondisi krisis ISBN yang dihadapi Indonesia, perdebatan publik pun muncul terkait dampaknya terhadap kualitas buku-buku di masa depan. Bagaimana solusi akan ditemukan dan bagaimana penerbitan buku di Indonesia akan berkembang selanjutnya merupakan pertanyaan yang patut dipertimbangkan oleh semua pihak terkait.
Baca Juga: