nongkingopi.com – Yusuf Hamka, sosok terkenal di dunia bisnis, baru-baru ini menjadi sorotan dengan penolakannya menerima pembayaran sebesar Rp 179 miliar dari pemerintah untuk utang yang sudah lama dimiliki perusahaannya.
Utang tersebut, yang bermula sejak tahun 1998, kini telah mengakumulasi bunga dan mencapai jumlah yang mencengangkan, yaitu sebesar Rp 800 miliar.
Keputusan ini didasarkan pada putusan yang menyatakan bahwa pemerintah harus memasukkan bunga yang terakumulasi dalam pembayaran mereka.
BACA JUGA : Yusuf Hamka Dituding Punya Utang ke Pemerintah, Jika Terbukti Bersedia Ganti 100 Kali
Dalam mengungkapkan ketidakpuasan terhadap penawaran pembayaran tersebut, Yusuf Hamka mengaitkannya dengan perlakuan terhadap warga biasa yang telat membayar pajak.
Ia menekankan ketidaksesuaian konsekuensi, dengan menyebutkan bahwa sementara warga yang telat membayar pajak dikenai denda dan kadang-kadang bahkan ditangkap, pemerintah hanya menawarkan jumlah pembayaran yang jauh lebih rendah untuk utang yang belum diselesaikan.
Kontras yang jelas ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan akuntabilitas dalam sistem tersebut.
BACA JUGA : Peningkatan Praktik Korupsi di Indonesia Diakui oleh Mahfud MD
Dalam wawancara dengan media setelah menghadiri Kantor Kementerian, Hukum, dan Keamanan pada tanggal 13 Juni 2023, Yusuf Hamka menegaskan bahwa ia tidak akan menerima pembayaran sebesar Rp 179 miliar.
Ia memastikan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan bunga sebesar 2% per bulan, seperti denda yang dikenakan pada warga yang telat membayar pajak.
Selain itu, ia menyoroti konsekuensi yang mungkin dialami oleh warga biasa yang gagal membayar pajak, termasuk penjara, dan berpendapat bahwa pemerintah harus diperlakukan dengan standar yang sama.
BACA JUGA : Sidang Isbat Idul Adha 2023: Tanggal dan Kemungkinan Beda dengan Muhammadiyah
Yusuf Hamka merujuk pada keputusan dan pentingnya dalam menentukan jumlah yang harus dibayarkan.
Ia berargumen bahwa utang yang telah berlangsung selama 25 tahun dan 300 bulan harus mencakup bunga 2% per bulan, sesuai dengan putusan pengadilan.
Dengan menuntut kompensasi yang adil, Yusuf Hamka bertujuan untuk menyoroti ketimpangan dalam perlakuan terhadap warga yang telat membayar pajak dan meminta pemerintah bertanggung jawab atas kewajiban keuangan mereka.
BACA JUGA : Bahaya Hubungan Incest (Hubungan Sedarah): Memahami Risiko dan Konsekuensinya
Kasus yang melibatkan penolakan Yusuf Hamka untuk menerima pembayaran sebesar Rp 179miliar dari pemerintah mengangkat pertanyaan yang lebih luas tentang keadilan, akuntabilitas, dan perlunya reformasi dalam sistem pajak.
Ini menyoroti perbedaan antara konsekuensi yang dihadapi oleh warga biasa dan perlakuan terhadap utang pemerintah. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi, perlakuan yang sama, dan kompensasi yang adil dalam mempertahankan kepercayaan publik dan mendorong lingkungan ekonomi yang adil.