AkademiSejarah

Perjalanan Aksi Kamisan, Dari Perlawanan Hingga Pertanyaan Tanpa Jawaban!

Sejarah Aksi Kamisan dimulai pada tahun 2003, diinisiasi oleh tiga keluarga korban HAM berat: Maria Sumarsih, Suciwati istri Munir, dan Bedjo Untung dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965.

Nongki Ngopi – Setiap Kamis, di depan pagar Istana Negara, terhampar pemandangan yang penuh haru dan kepedihan. Sebuah kelompok orang berpakaian serba hitam, berdiri dalam diam, hanya berteduh di bawah payung hitam. Mereka adalah bagian dari Aksi Kamisan, sebuah gerakan yang telah berlangsung selama 16 tahun, menuntut penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu di Indonesia.

Baca Juga: Misteri Kelam “Ninja Banyuwangi” Pembantaian Dukun dan Ulama

Asal Usul Aksi Kamisan

Sejarah Aksi Kamisan dimulai pada tahun 2003, diinisiasi oleh tiga keluarga korban HAM berat: Maria Sumarsih, Suciwati istri Munir, dan Bedjo Untung dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965. Mereka membawa beban tragedi seperti Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Talangsari, Pembunuhan Munir, dan Tragedi 1965-1966.

Wajah-wajah yang terlibat adalah keluarga korban, termasuk Maria Sumarsih yang kehilangan putranya, Bernandinus Realino Norma Irawan (Wawan), saat ia tewas menolong mahasiswa lain selama demonstrasi tahun 1998. Bersama aktivis HAM dan kaum muda setia, mereka melakukan aksi diam sebagai bentuk tuntutan kepada negara agar menyelesaikan kasus-kasus tersebut dan sebagai pengingat akan ketidakadilan yang masih terus berlangsung.

Aksi Kamisan dimulai pada 18 Januari 2007, dan rutin dilakukan setiap Kamis. Awalnya, hanya keluarga korban yang ikut serta, dan Maria Sumarsih menyatakan jika partisipan kurang dari tiga orang, aksi akan dihentikan. Namun, aksi ini selalu melibatkan lebih dari tiga orang, bahkan dengan jumlah yang terbatas.

Baca Juga: Bajak Laut di Indonesia: Kisah Nyata Pemberontakan di Lautan Tak Terkalahkan

Dampak dan Popularitas Aksi Kamisan

Dengan berjalannya waktu, AksiKamisan semakin populer dan melibatkan banyak kaum muda. Para pekerja Istana menyebutnya sebagai “aksi payung hitam.” Aksi ini menjadi salah satu demonstrasi damai paling dikenal di Indonesia, menghidupkan kembali memori masyarakat tentang pelanggaran HAM masa lalu yang terlupakan oleh media mainstream.

Aksi Kamisan tidak terbatas hanya di Ibu Kota. Menyebar ke berbagai kota di Indonesia seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, Makassar, dan Kalimantan Timur. Isu yang diangkat pun semakin beragam, tidak hanya terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu, tetapi juga mencakup isu-isu seperti #ReformasiDikorupsi dan isu lokal di berbagai daerah.

Meskipun sudah lebih dari 700 kali Aksi Kamisan dilakukan, belum ada titik terang bagi keluarga korban. Trauma lama mereka belum terselesaikan, dan kebenaran masih gelap. Para pelaku masih bebas, sementara korban terus menunggu keadilan. Mungkin, Aksi Kamisan tidak akan pernah berakhir, karena ketidakadilan masih terus merajalela.

Baca Juga:

"Hanya manusia biasa yang mencoba menjalani hidup sebaik mungkin. Kami mungkin tidak sempurna, kadang-kadang membuat kesalahan, dan memiliki keterbatasan kami sendiri. Namun, kami juga memiliki potensi untuk tumbuh, belajar, dan berkembang dari…

Related Posts

1 of 17